Wednesday, July 4, 2007

Nasionalisme ataukah Internasionalisme?

Melihat kejadian akhir-akhir ini sepertinya kita merah muka. Sebagai bangsa yang besar kita harusnya merasa terhina dan dilecehkan oleh peristiwa yang terjadi di Ambon dan Papua beberapa hari yang lalu. Terjadinya pengibaran bendera RMS di Ambon dan bendera OPM di Papua menohok harga diri negara ini. Bagaimana presiden SBY di depan matanya sendiri menyaksikan peristiwa yang memalukan itu. Sungguh beliau begitu merasa terpukul dengan kejadian itu. Tepat kiranya presiden dalam pidato acara Harganas itu menyatakan bersikap tegas terhadap upaya-upaya separatis di negeri ini.
Melihat kejadian akhir-akhir ini sepertinya kita merah muka. Sebagai bangsa yang besar kita harusnya merasa terhina dan dilecehkan oleh peristiwa yang terjadi di Ambon dan Papua beberapa hari yang lalu. Terjadinya pengibaran bendera RMS di Ambon dan bendera OPM di Papua menohok harga diri negara ini. Bagaimana presiden SBY di depan matanya sendiri menyaksikan peristiwa yang memalukan itu. Sungguh beliau begitu merasa terpukul dengan kejadian itu. Tepat kiranya presiden dalam pidato acara Harkatnas itu menyatakan bersikap tegas terhadap upaya-upaya separatis di negeri ini.
Jika dikaji dari gambar yang terlihat di layar televisi, dalam pentas tari Cakralele itu sepertinya ada kesan dibiarkan aparat. Terlihat dari tayangan berita televisi, robongan penari seperti dihantarkan dari belakang oleh beberapa aparat (entah Pemda/Polda). Petugas itu sepertinya sudah tahu ada yang ganjil dari rombongan itu, tetapi bersikap ragu-ragu. Baru setelah bendera RMS dikibarkan oleh tangan salah satu penari, petugas ”mengambil” penari itu. Kenapa harus begitu ? Bagaimana bisa terjadi peristiwa yang melecehkan NKRI, yang seakan tidak atau tanpa koordinasi sebelumnya. Siapa yang bertanggung jawab menyiapkan tarian itu? Siapa yang mengkoordinir rentetan acara tersebut? Bagaimana perekrutan penari-penari tersebut? Tidak bisakah tarian itu dilakukan oleh para pelajar biasa saja ? Jika penulis perhatikan banyak acara-cara seni pertunjukan untuk menyambut presiden di daerah-daerah lain itu melibatkan para pelajar yang berprestasi. Misalnya di Jawa Barat, sering sekali para pelajar yang berprestasi dan mendapat pembinaan dari Pemda terlibat aktif dalam acara-acara seperti itu. Apakah Pemda Maluku tidak berpikir seperti itu ? Ataukah Pemda sepertinya menenderkan seluruh rentetan acara itu, sehingga ditunggai oleh kelompok-kelompok simpatisan separatis RMS ini. Seharusnya Pemda lebih mawas diri kalau di wilayahnya itu masih ada ”riak” gerakan separatis, untuk acara sebesar dan sepenting itu sebaiknya PNS-PNS Pemda saja yang mengisinya agar lebih diberdayakan.
Sebenarnya ”kita” ini sesibuk apa sih? Mengurusi apa saja, sampai-sampai kecolongan oleh ”riak” yang seharusnya tidak perlu kepermukaan lagi. Dari sini kita harusnya menyikapi kembali arti dan makna ”nasionalisme” dan ”patriotisme”. Sepertinya rasa kebangsaan dan kecintaan terhadap negeri ini semakin tidak jelas dan kabur. Satu lagi yang sangat disayangkan oleh aparat negeri ini, negeri kita selalu disibukan untuk memenuhi keinginan-keinginan internasional tanpa ada timbal balik untuk kepentingan nasional kita sendiri (nasionalisme). Jika kita perhatikan, sebenarnya kita sudah melenceng jauh menjadi internasionalisme. Memang di dalam masyarakat global seperti sekarang ini kita sangat dituntut untuk terbuka dengan alam global. Tetapi jangan mengorbankan kepentingan-kepentingan nasional.
Mari kita runut satu persatu, nasionalisme ataukah internasionalisme. Sebagai salah satu contoh konkrit dan paling jelas kinerjanya adalah dalam penanganan masalah terorisme di Indonesia. Kita banyak dibantu oleh negeri-negeri asing terutama Amerika Serikat. Sampai-sampai biayanya pun banyak dihibahkan untuk membentuk detasemen khusus yang memang luar biasa. Dilihat dari kinerja aparat penegak hukum ini dalam menanggulangi terorisme sangat tepat dan akurat sekali. Tetapi kenapa dalam hal separatis seperti di Ambon dan Papua ”sensor” dan ”radar-radar” seolah tidak berfungsi. Ada apa ini? Seharunya aparat tidak pandang bulu, memilah dan memilih masalah yang perlu ditangani. Terhadap gerakan separtis kiranya lebih membahayakan karena berkeinginan ”mbalelo” dari NKRI yang berdiri dari perjuangan dan tetesan darah para pahlawan kita terdahulu. Masihkah kita duduk terdiam hanya menjadi pesuruh di negeri sendiri.
Kepada pemerintah juga, jika benar-benar tegas dengan masalah separatis di Ambon dan Papua, coba bersikap tegas pula kepada negara-negara seperti AS dan Australia. Ia telah terlalu banyak meminta sesuatu dari negera ini. Kurang apa negeri kita kepada mereka. Pemberangusan teroris telah kita lakukan (dengan penangkapan-penangkapan para tersangka teror), perpanjangan tender pengeboran minyak, perpanjangan penambangan emas, perjanjian ekstradisi, dan masih banyak lagi tuntutan tuntutan itu telah kita lakukan. Tetapi kok kenapa kita tidak bisa memintapulangkan agar dedengkot RMS yang di AS bisa ditangani pemerintah Indonesia sendiri? Kok kenapa Australia melindungi dan membela para peminta sewaka yang nota bene pendukung OPM? Sebenarnya se-standar ganda apa sih AS dan Australia di Indonesia ini? Sampai-sampai kita kesulitan sendiri. Ataukah pemerintah kita yang telah berstandar ganda?
Dari sini jelas kondisi pemerintah kita sekarang ini. Menangani masalah nasional sendiri saja sudah keropotan luar biasa. Tetapi berbeda dalam menangani masalah-masalah internasional begitu sigap dan cepat, seakan sensor dan radar-radar itu hanya diarahkan pada satu kata kunci saja ”teror”, ”teror”, ”teror”, dan ”teror”, tanpa sadar dibalik itu kita sedang diteror dari belakang oleh gerakan separatis yang masih menyimpan ”sakit hati”. Kita tidak tahu apakah mereka benar-benar gerakan separatis ataukah hanya boneka dari kepentingan yang lebih besar dari pada sekedar ingin melepaskan dari NKRI saja.
Kembali kita sudah saatnya membaca ”buku sejarah”, sepertinya ”buku” ini begitu tertutup rapat untuk direnungi dan diambil hikmahnya. Sebenarnya akar permasalahan gerakan separatis di Indonesia itu berawal dari era Demokrasi Liberal (1947-1950). Sejak Indonesia menyatakan diri sebagai NKRI pada tahun 1950, sejak itu pula di beberapa wilayah Indonesia masih ada yang menyimpan rasa tidak rela masuk NKRI. Salah satunya RMS (Republik Maluku Selatan). Di masa-masa awal berdirinya NKRI 1950, negara bekas penjajah yang banyak campur tangan dalam memperpanjang umur gerakan separatis ini. Terang saja mereka masih tidak terima dengan tingkah laku politik Founding Fathers negeri ini yang membentuk NKRI, dengan cara ”menikam dari belakang”. Sukarno ketika Indonesia hanya sebagai negara bagian saja dari RIS, dan dengan situasi Belanda mempercayakan sepenuhnya kepada RIS seluruh angkatan perang Belanda ditarik dari Indonesia, maka momentum itulah yang diambil Sukarno untuk membubarkan RIS. Akibatnya tidak sedikit pula yang kecewa dengan upaya Sukarno itu, di antaranya para pemimpin negara-negara bagian di kawasan Indonesia Timur. Pada akhirnya mereka melahirkan gerakan-gerakan anti NKRI yang sisa-sisanya masih mengidealiskan impiannya itu.
Pertanyaannya sekarang, masihkah pihak yang sama seperti zaman dulu yang turut mendompleng gerakan separatis itu? Ataukah haluan sudah jauh berputar sehingga arah angin dari tujuan gerakan-gerakan itu juga bukan sekadar memisahkan diri dari NKRI? Dan pertanyaan berikutnya adalah benarkah NKRI harga mati ? Jika ”ya”, berarti tiada tempat sedalam lubang tikus pun di negeri ini bagi gerakan separatis.(*)

Selengkapnya......