Saturday, February 26, 2011

Sumedang dan Ancaman Krisis Pangan

Bisakah Mewujudkan Kemandirian Pangan?

Dampak pemanasan global (global warming) sudah sangat terasa. Perubahan cuaca ekstrim yang berimbas pada rusaknya tatanan ekologi lingkungan sedikit demi sedikit mengurangi keseimbangan alam. Apalagi tahun 2011 ini imbasnya diprediksi sejumlah pengamat sebagai tahun krisis pangan dunia.
Sinyal-sinyal itu pun tampak jelas akhir-akhir ini, beberapa harga kebutuhan pangan dalam waktu relatif singkat meroket mahal. Hingga membuat pusing para ibu rumah tangga, para pelaku usaha makanan, dan tentunya pemerintah sendiri menjadi kelabakan mencari solusi.
Seperti apa ancaman krisis pangan dunia ini? Apakah akan sama seperti zaman Indonesia dijajah Belanda dan Jepang, ataukah akan menimbulkan bencana kelaparan dimana-dimana hingga sangat rentan terjadi konflik sosial. Yang jelas kini beberapa negara pemasok pangan dunia seperti Vietnam dan Thailand sudah mengambil langkah antisipasi dengan mulai mengurangi ekspornya. Sementara Indonesia mulai meringkatkan bea masuk impor bahan pangan, lantaran selama ini masih ketergantungan impor dari luar negeri.
Tidak heran jika Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Soemantri bersikeras ingin memindahkan pohon langka African Baobab dari Sukamandi, Subang ke lingkungan kampus UI sebagai bahan penelitian ilmiah lantaran pohon itu akan sangat berguna bagi keberlangsungan peradaban manusia ketika menghadapi krisis pangan luar biasa.
Bagaimana dengan Sumedang? Kalau melihat kondisi kekinian Sumedang hampir sama dengan daerah-daerah lainnya yang juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan zaman. Banyak lahan pertanian yang dikonversi menjadi non pertanian. Namun, untuk beberapa waktu memang tidak begitu terasa dampaknya selama masih berjalannya program intensifikasi pertanian sisa-sisa Revolusi Hijau (kemajuan teknlogi pertanian).
Lain ceritanya jika ganasnya perubahan cuaca ekstrim tidak bisa diatasi dengan kemajuan teknologi pertanian. Hal itu sudah dirasakan para petani Sumedang, baik para petani padi maupun holtikultura yang dipusingkan dengan cuaca. Contoh kecil petani buah naga di Cibeureum Cimalaka pada imlek sekarang tidak lagi bisa memanen buah lantaran nyaris seluruh tangkal gagal berbuah karena pengaruh cuaca.
Diprediksi krisis pangan dunia itu bukan hanya terjadi pada tahun 2011 saja tetapi akan terus berlanjut pada rentang waktu yang cukup lama. Para pengamat mengatakan krisis pangan akan mengancam antara 5 hingga 10 tahun ke depan. Menghadapi kenyataan tersebut bagi Sumedang menjadi pekerjaan berat, apalagi dengan dibangunnya berbagai mega proyek dari Bendungan Jatigede, Tol Cisumdawu hingga Bandara Kertajati ke depannya nyaris menciutkan lahan pertanian lokal.
Bayangkan, setiap tahunnya dari data yang tercatat selama 2009 saja ratusan hektare lahan pertanian di Sumedang berkurang. Sebut saja pembebasan untuk Bendungan Jatigede telah mengurangi lahan pertanian Sumedang tidak kurang dari 2.500 hektare dari elepasi 4896, 22 hektare. Pembangunan tol Cisumdawu menelan lahan 1. 500 hektare itu belum termasuk untuk lahan Bandara Kertajati dan lahan-lahan pertanian yang berubah menjadi perumahan, tempat niaga, dan pemukiman penduduk dan lainnya.
Jika Bendungan Jatigede menghilangkan lahan pertanian sebanyak 20 % maka jika digabungkan dengan tol dan bandara maka persentasenya lebih besar lagi. Ironis, di tengah keberadaan waduk sangat diperlukan bagi masyarakat di pantai Utara Jawa Barat yang selama ini menjadi lumbung pangan, berakibat Sumedang berkurang wilayah pertaniannya dan terancam krisis pangan berkepanjangan. Dipastikan dengan tenggelamnya 5 kecamatan dan 30 desa itu produksi beras Sumedang berkurang sekitar 80.000 ton per tahun.
Meski teori Robert Malthus yang menyatakan jumlah penduduk berkembang menurut deret ukur sementara produksi pertanian berkembang menurut deret hitung terpatahkan dengan Revolusi Hijau dengan ditemukan teknologi pertanian yang mampu mempercepat masa tanam, tetapi akankah pengaruh perubahan cuaca ekstrim mampu tertanggulangi.
Pemerintahan SBY pun hanya memberikan solusi jangka pendek dengan keluarnya Inpres bagi Kementan dan Bulog. Sementara ancaman krisis pangan antara 5-10 tahun ke depan. Bagi Sumedang ini menjadi pekerjaan berat, apakah dengan sisa lahan pertanian yang tersisa itu dan di tengah perubahan cuaca ekstrim ini Sumedang mampu mewujudkan kemandirian pangan?
Satu-satunya jalan yakni dengan fokus pada pembangunan sektor pertanian, mengembalikan lahan pertanian yang hilang lebih jauh lagi mampu menambah lahan pertanian. Bisa pula dengan menuntut kompensasi ke daerah yang diuntung oleh Jatigede agar suplay bahan pangan untuk Sumedang terjamin. Dengan cara seperti itu ancaman krisis pangan berkepanjangan bagi Sumedang bisa diminimalisir. Wallaahua’lam. (*)

Rubrik ‘Catatan’ Radar Sumedang Jum’at 28 Januari 2011

No comments: