Friday, January 28, 2011

Menyibak Tabir Sejarah Cadas Pangeran (Bagian 2)

Penuh Kontradiksi dan Keanehan, Mitos itu Legitimasi Kekuasaan

Hasil kajian dekonstruksi sejarah Djoko Marihandono menyimpulkan jikalau penentangan pembangunan Cadas Pangeran oleh Bupati Sumedang, Pangeran Kusumadinata tersebut hanyalah sebuah mitos. Djoko pun melihat banyak hal aneh dan kontradiksi dari mitos tersebut.
Pendekatan dekonstruksi yang dilakukan Djoko Marihandono cukup menarik dan memberikan sisi lain dari cerita sejarah Cadas Pangeran selama ini. Menurutnya, mitos pembangunan Cadas Pangeran semasa pemerintahan kolonial tersebut sengaja diciptakan sedemikian mengesankan perlawanan tajam antara pribumi dengan pemerintah kolonial. Tujuannya tiada lain sebagai upaya polarisasi politik, dari rezim pasca Daendels yang sangat menentangnya.
Dengan adanya mitos tentang pembangunan jalan tersebut, ungkap Djoko, polarisasi politik yang terjadi selama dan pasca pemerintahan Herman Willem Daendels, bukan hanya terbatas  pada orang Eropa tetapi juga melibatkan orang pribumi.
“Munculnya legenda di  atas menunjukkan bahwa beberapa kalangan pejabat Eropa berusaha menciptakan citra tentang Daendels di mata para elit penguasa dan masyarakat pribumi. Penentangan oleh Pangeran Kusumadinata membuktikan bahwa program Daendels menimbulkan penderitaan dan akhirnya memunculkan perlawanan rakyat,” kata Djoko Marihandono dalam makalahnya berjudul Mendekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah Dan Tradisi Lisan.
Menurutnya, hal itu sengaja dimunculkan dan digunakan oleh orang-orang Eropa yang anti-Daendels untuk menyatakan bahwa mega proyek Daendels tidak berhasil mengentaskan kondisi kehidupan rakyat.
Sementara itu, Djoko pun cukup jeli dengan mitos perlawanan kepada kolonial yang dilakukan Pangeran Kusumadinata. “Hal ini sangat menarik mengingat dalam masyarakat Sunda terutama Sumedang tidak banyak menyampaikan keluhan ketika mengalami eksploitasi oleh VOC sejak satu setengah abad sebelumnya, tiba-tiba memunculkan suatu legenda yang bersifat penentangan terhadap suatu program jangka pendek oleh penguasa kolonial,” tulis Djoko retoris.
  Sampai pada kesimpulan terakhirnya, Djoko tetap kukuh bahwa cerita aksi protes itu adalah legenda yang merupakan sebuah mitos. Bahwa fungsi mitos, kata Djoko terbatas sebagai identitas budaya lokal yang tumbuh dan beredar di kalangan masyarakat tertentu. Mitos selain mengandung banyak kelemahan, di samping itu mitos juga sengaja dibuat untuk tujuan tertentu seperti menonjolkan peran seseorang dengan tujuan legitimasi kekuasaan.
 Ada beberapa kelemahan yang tampak pada mitos Pangeran Kornel tersebut. Djoko mulai bermain retorika sederhana dengan sebuah jawaban atas pertanyaan berikut ini : Mungkinkan Daendels akan membiarkan seorang bupati melawan kebijakannya dan menantang di depannya, mengingat selama periode pemerintahannya, Sultan Banten diturunkan dan istananya dihancurkan?; tiga orang raja Jawa diturunkan dan dibuang  atas perintahnya setelah terbukti bahwa mereka menentangnya?
“Di Banten, Cirebon dan Yogyakarta dengan ikatan feodal yang sangat kuat, Daendels bertindak tegas tanpa memperhitungkan resiko terjadinya pergolakan atau perlawanan. Jika di Sumedang yang terbatas pada suatu kabupaten, terjadi perbuatan yang menentang kebijakannya, Daendels pasti tidak akan segan mengerahkan kekuatan militernya dan menghukum penguasa setempat,” urai Djoko. Dalam mitos itu Daendels digambarkan sebagai seorang yang lemah dan mudah menerima tuntutan yang diajukan dengan sikap menentangnya. “Ini merupakan pencitraan yang tidak tepat,” lanjutnya lagi.
 Tentang sosok Pangeran Kusumadinata, Djoko melihat beberapa kelemahan juga dalam mitos itu. Pangeran Kusumadinata dilahirkan pada tahun 1791, atau berumur 17 tahun ketika Daendels melaksanakan proyek jalan rayanya tersebut. “Meskipun ada peluang bagi seorang anak untuk menduduki jabatan sebagai bupati di wilayah Sunda dengan perwalian, bupati dalam usia 16-17 tahun sulit digambarkan bisa berhadapan dengan seorang panglima tertinggi angkatan bersenjata Prancis yang berkuasa atas seluruh kawasan sebelah timur Tanjung Harapan,” nyatanya lagi.
Di akhir makalahnya, Djoko hanya menutupnya dengan beberapa pertanyaan berikut: sejauh mana kepekaan Pangeran Kusumadinata terhadap kondisi rakyatnya? Apakah sebelum pembangunan jalan ini dan sesudah peristiwa tersebut Pangeran Kusumadinata mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan warganya? Bagaimana peran orang-orang di sekitarnya dalam  menghadapi tuntutan Daendels? “Semua pertanyaan ini memerlukan pengkajian lebih lanjut, apabila mitos tersebut masih dianggap layak untuk digunakan sebagai sumber sejarah khususnya dalam penulisan sejarah Cadas Pangeran,” tulis Djoko menutup makalahnya.

No comments: