Saturday, August 11, 2007

Saatnya Militer Kembali ke Barak

Judul : Demiliterisasi Tentara , Pasang Surut Politik Militer 1945-2004
Pengarang : Dr. Abdoel Fattah
Penerbit/tahun terbit : LKIS / Oktober 2005
Tebal : xxiv + 400 halaman

Cukup banyak buku-buku yang mengaji mengenai militer (TNI) dan peran sertanya dalam politik di Indonesia. Baik dalam persepektif militer itu sendiri maupun dari “saudara tuanya” sendiri, perspektif sipil. Banyak dimensi yang dapat dijadikan rujukan akan hal tersebut. Tidak kurang juga pemerhati atau akademisi dari luar negeri yang tertarik dengan persoalan militer di Indonesia. Berbicara militer di Indonesia tidak lepas dari wacana hubungan sipil-militer. Seakan sudah menjadi topik yang tidak mudah dipisahkan, karena memang topik-topik tersebut sangat “enteng” naik kepermukaan seiring dengan perkembangan konstelasi politik dalam negeri Indonesia.
Ada satu buku referensi baru masih menyangkut topik hubungan sipil-militer di Indonesia. Buku itu adalah buah karya dari disertasi doktoral, Abdoel Fattah. Dilihat dari covernya buku tersebut agak unik, karena menampilkan foto presiden RI pertama, Soekarno yang tengah bersepeda bersama Sang Istri, Ibu Fatmawati ketika mengadakan kunjungan kenegaraannya di India pada tahun 1950. Seakan ingin berbicara bahwa sosok Soekarno seorang sipil yang selalu berpenampilan ala militer, yang konon seragamnya itu dinamakan pakaian revolusi, tidak mengenal dikotomi antara sipil-militer. Sipil itu dirinya dan dirinya jua adalah militer. Memang politik pada waktu itu menuntut adanya satu pigur pemimpin yang mampu menyatukan semua golongan.

Ada militer karena adanya sipil. Dapatlah dikatakan dengan logika tata negara paling dasar bahwa sipil mendahului lahirnya militer. Jika ditarik lagi maka ketika sebuah negara ada dan menyatakan berdemokrasi, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jelaslah bahwa rakyat tersebut adalah sipil. Seorang sipil yang berusia 18 tahun dan itupun kalau lulus tes barulah bisa menjadi milliter. Makanya di awal tulisan ini disebutkan bahwa sipil adalah saudara tuanya militer. Dan di negara-negara yang sudah mapan demokrasinya, sipil menjadi prioritas terdepan dalam memimpin negara.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di negara-negara yang masih dalam proses belajar berdemokrasi, negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang. Seperti halnya Indonesia. Di Indonesia sejak awal merdeka tahun 1945 nampaknya “urun rembuk” militer dalam politik sangat jelas terlihat sampai masa keemasannya di era Soeharto. Dalam bukunya, Abdoel Fattah tersebut secara rinci dan detail memaparkan peristiwa-peristiwa yang terkait dengan politik militer di Indonesia. Dengan analisis yang mendalam dan komperehensif, penulis yang memiliki background militer mencoba menganalisa dengan tidak timpang antara perspektif sipil maupun militer.
Ia memandang bahwa, memang benar militer pernah terlibat dalam dunia politik di Indonesia. Itu terjadi sejak awal kemerdekaan. Di mulai dengan banyak terlibatnya militer dalam menentukan kebijakasanaan-kebijaksaanan negara yang tengah menghadapi situasi sulit, diplomasi dan berperang. Pada masa itu juga hubungangan sipil-militer agak mengkhawatirkan. Karena militer sangat menentang sekali dengan politik sipil dalam hal mempertahankan kemerdekaan. Militer melihat sipil terlalu merendahkan militer sehingga banyak sekali tergantung dengan diplomasi dengan Belanda. Akibatnya adalah terjadi krisis militer, dimana perwira tertinggi militer pada waktu itu Soedirman dan A.H. Nasution meminta berhenti dari jabatannya karena kecewa kepada tuannya (pemerintah RI) mengenai politik berjuang.
Pada masa demokrasi parlementer sampai demokrasi terpimpin, setelah Panglima Besar Soedirman wafat praktis militer kehilangan sosok yang mereka anggap pemersatu dalam militer. Akibat pergolakan politik dan berlakunya darurat perang tahun 1957, menyebabkan semakin meluasnya peran tentara diluar bidang pertahanan. Munculah yang namanya konsep “jalan tengah tentara” dan konsep Presiden tentang demokrasi terpimpin serta penerapan golongan fungsional. Pada masa itu tentara menjadi kekuatan politik yang menonjol karena parpol kurang terorganisasi. Keterlibatan tentara dalam politik menjadi lebih jauh lagi didorong karena kedekatan PKI dengan Soekarno. TNI tidak senang dengan PKI dan masih sulit melupakan PKI pada tahun 1948 yang dianggap menusuk dari belakang.
Menjelang akhir demokrasi terpimpin, kewibawaan Soekarno menurun karena tidak menghiraukan aspirasi rakyat dan tentara untuk membubarkan PKI. Konflik tidak bisa lagi dihindari karena presiden melanggar ekslusivisme militer dengan menyetujui pembentukan “angkatan kelima”. Walaupun belum direalisasikan namun rencana itu dipandang akan menciptakan musuh fungsional dalam militer. Seperti pendapat Nordlinger (1990), tentara tidak menginginkan “musuh” fungsional yang tidak profesional di luar organisasi tentara yang resmi.
Puncak konflik segitiga antara Soekarno, TNI dan PKI adalah peristiwa G30S/PKI. Akhirnya, PKI dibubarkan oleh Soeharto, dan Soekarno pun, yang sejak muda seluruh hidupnya dicurahkan untuk perjuangan bangsa dan sebelumnya sangat disegani karena berjasa besar kepada bangsa dan negaranya dan menjadi pemimpin kaliber dunia, jatuh perlahan di bawah strategi Soeharto, alon-alon waton kelakon (lambat asal tercapai), yang dilakukan secara konstitusional. Orde Lama berakhir, mulailah Orde Baru yang ditandai dengan tampilnya militer di panggung politik Indonesia, yang dilegitimasikan dengan dwifungsi ABRI.
Dwifungsi ABRI digunakan sebagai alat kekuasaan dan alat politik Orde Baru pimpinan Soeharto. Tentara juga digunakan untuk mendukung Golkar (sekarang Partai Golkar) sebagai partai pemerintah. Format politik Orde Baru yang sentralistik dengan pendekatan keamanan dan pendayagunaan serta perluasan dwifungsi ABRI telah mendorong tentara mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara dengan pola tindakan yang otokratis dan represif. Akibatnya telah menghalangi perkembangan kehidupan golongan sipil (civil society) dan pembangunan demokrasi di Indonesia.
Sekali lagi sejarah sungguh kepala batu. Ia punya jalannya sendiri, syarat dan hukumnya sendiri. Ia tidak takluk pada Jenderal, Presiden atau Imam sekalipun. Begitupun Soeharto adalah Soeharto, kekerasan hati Soeharto dan pembantu-pembantunya yang tidak mau dikritik telah menyebabkan protes itu berkelanjutan. Ending Soeharto pun tiba di tahun 1998, ia terpaksa harus lengser dari kursi kepresidenannya yang telah ia duduki selama 32 tahun. Memecahkan rekor presiden terlama berkuasa di Indonesia dan seharusnya patut mendapatkan “rekor” dari Muri.
Sejak itulah adanya tuntutan reformasi yang berimbas juga pada paradigma dalam tubuh militer. Demi mewujudkan kehidupan bangsa yang demokratis dan modern, TNI menyatakan akan melakukan reformasi internal dengan paradigma barunya, yakni tiga bulan setelah jatuhnya Soeharto.
Disinilah inti apa yang dibicarakan Abdoel Fattah, yaitu proses demiliterisasi tentara. Mulai saat itu TNI merumuskan paradigma barunya dengan serangkaian tindakan redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran untuk menempatkan TNI pada posisi yang sesuai dengan kehendak rakyat. Dengan paradigma barunya, TNI secara bertahap meninggalkan peran sosial politik, meninggalkan doktrin dwifungsi, dan berfokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara. Karenanya, arah yang dituju TNI adalah menjadi tentara yang profesional, efektif, efesien, dan modern (PEEM) sebagai alat pertahan negara dalam kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis dan modern.
Sebagaimana korelasinya dengan pembanguan demokrasi di Indonesia, Abdoel Fattah meyakini bahwa dengan adanya paradigma baru dari TNI tersebut proses pembangunan demokrasi di Indonesia akan berjalan. Dimana TNI menjadi pendukung pembangunan demokrasi di Indonesia. Sampai pada kesimpulan terakhirnya, bahwa hal tersebut memerlukan keterampilan politik, khususnya berdemokrasi, ketekunan, kesabaran dan penciptaan kondisi yang dapat mendukung perkembangan demokrasi.
Sebagaimana yang dikomentari oleh pengamat militer Indonesia dari Universitas Nasional Asutralia (The Australian National University), Prof. Harold Crouch sekaligus menjadi penguji dan pemberi saran kepada Abdoel Fattah, bahwa disertasi tersebut memberikan gambaran yang komprehensif tentang perkembangan sikap politik militer. Akhirnya patutlah jadi pertimbangan utama bagi peminat sejarah politik di Indonesia khususnya dan semua pecinta buku-buku umumnya. Karena dengan begitu menjadi semakin luaslah pengetahuan kita akan problematika dan dinamika politik di Indonesia yang sedang akan menapaki babak baru dalam demokrasi.

No comments: