Monday, January 17, 2011

Kepentingan Asing Dibalik Gerakan Separatis Ambon dan Papua

Kiranya benar pernyataan Soeripto, salah seorang angggota Komisi III DPR RI ketika diwawancarai ANTV rabu petang (4 Juli 2007) perihal pandangannya mengenai pengibaran bendera RMS di Ambon dan bendera Bintang Kejora di Papua. Menurutnya riak separatis di wilayah Indonesia Timur itu tidak berdiri sendiri adanya. Tetapi ada kepentingan asing yang sangat besar dibalik isu separatis yang dimunculkan.
Ia juga menegaskan kalau kejadian pengibaran-pengibaran bendera itu sepenuhnya dikontrol oleh campur tangan intelejen asing yang sudah sejak lama berkeliaran di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia bagian timur. Soeripto juga memberika saran dan nasehat politik supaya pemerintah segera menuntaskan masalah ini dengan membongkar penggagas sebenarnya (master mind).
Kalau diruntut dari jejak sejarah negeri ini, sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru dengan muatan-muatan asing di balik gerakan-gerakan separatis di Indonesia. Ada banyak cermin sejarah untuk kita putar ulang, alangkah jelas dan nyatanya kepentingan asing di balik gerakan separatis tersebut. Dari mulai gerakan separatis di Sumatra, di Jawa, di Sulawesi, terlebih di Ambon dan di Papua, kiranya jelas sangat kentara.
Nenek moyang isu yang dilancarkan dari dulu hingga sekarang masih sama yaitu anak dari politik ”devide at impera”, politik memecah belah dan menaklukan/menguasai. Cuma yang berbeda adalah varian dan zamannya saja. Ibarat sebuah varian virus, varian politik pecah belah atau adu domba ini semakin ke sini semakin halus dan semakin tersamarkan. Sehingga kita sendiripun cukup sulit untuk mengatakan kalau itu sebuah ”virus”. Begitu kiranya jika dianalogikan antara varian virus dengan varian politik pecah belah atau adu domba.
Pada zaman kakek buyut kita Diponegoro, Belanda telah lebih dulu menanamkan politik ini. Tanpa itu mungkin Perang Belanda tidak ”Cuma 5 menit saja”(baca lima tahun) 1825-1830, bisa jadi lebih dari 5 tahun. Konon dalam sejarah Perang Jawa atau Perang Dipanagara ini merupakan perang yang banyak menguras amunisi bagi kolonilalis Belanda.
Tetapi karena begitu besarnya kepentingan Belanda atas tanah Jawa, maka segala cara untuk menaklukan Jawa dilakukan termasuk dengan adu domba. Pada akhirnya kerajaan terbesar di Jawa itu berhasil di pecahkan oleh Belanda menjadi dua bagian yang satu di Yogyakarta dan satunya lagi di Surakarta, melalui perjanjian Giyanti.
Dari kisah sejarah itu, sudah terlihat bagaimana imperialis Barat dengan mudahnya mempartisi (mengota-kotakan) musuh-musuhnya menjadi bagian-bagian kecil, sehingga mudah diatur dan dikuasai demi kepentingan besarnya di Tanah Jawa. Apa kepentingan asing pada waktu itu ? Tiada lain dan tiada bukan, ketergantungan Belanda akan hasil bumi atau kekayaan alam Tanah Jawa. Sejak zaman dulu saja tanah air kita ini begitu menjadi primadona negeri-negeri imperialis Barat. Negara Barat mana coba yang belum merasakan begitu nikmatnya mencicipi Indonesia?
 Kalau kita urut kiranya semua negera Barat pernah menikmati manisnya Indonesia, walaupun itu banyak memberikan pahit bagi Indonesia sendiri. Mulai dari bangsa Portugis, Sepanyol, kemudian Belanda, kemudian Inggris. Kalau diperdetil kembali sebenarnya Belanda ketika melakukan ”perdagangan” di Nusantara ini, tidak seratus persen orang-orang Belanda. Sebesar apa sih negeri Belanda untuk bisa menaklukan Nusantara yang besar ini. Secara logika tidak mungkin.
Makanya orang Belanda ini cukup pintar, mereka melibatkan orang-orang dari negeri Eropa lainnya untuk dijadikan tentara bayaran. Tentara-tentara bayaran itu berasal hampir dari seluruh penjuru Eropa. Dan ketika mereka mulai mapan dengan berhasil didirikannya VOC, maka sediki-demi sedikit kekuatan tentara pun diperkuat hingga pada akhirnya terbentuklah Negara Hindia Belanda (Indonesia). Hasilnya pun cukup terlihat jelas kas negeri Belanda mengalami overload (baca :batig slot).
Kerajaan Belanda mampu membangun negerinya hingga selamat dari lautan yang setiap saat mengancamnya; mampu membayar hutang perang kepada Belgia dan bisa melancarkan misi keagamaannya di Indonesia dan di negeri jajahan lainnya.
Lagi-lagi sulit sekali memisahkan 3G (Gold, Glory dan Gosvel) dari muatan-muatan imperialis Barat ini. Mungkin sampai sekarang muatan-muatan 3G ini masih digunakan. Contoh jelas apa yang dicetuskan G. W. Bush tidak lama setelah WTC dihancurkan, dengan tanpa tedeng aling-aling ia menyatakan kalau perang terhadap ”terorisme” itu adalah kelanjutan dari Perang Salib. Terbukti jelas muatan 3G masih dianggap isu politik ampuh untuk menguasai dunia.
Bagaimana dengan keberlanjutannya setelah merdeka? Kemerdekaan kita raih bukan dengan hadiah pemberian dari penjajah tetapi dengan perjuangan tetesan darah dan air mata para pahlawan pendahulu kita. Mereka berjuang demi tegaknya merah putih di atas ibu pertiwi. Cita-cita mulia hidup di alam merdeka tercapai dengan dikumandangkannya kemerdekaan pada hari suci Jumat 17 Agustus 1945. Secara de facto Indonesia menjadi negara merdeka lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang.
Tetapi kacamata Belanda masih melihat Indonesia sebagai Hindia Belanda. Pada akhirnya mengundang banyak campur tangan internasional untuk Indonesia. Masalah Indonesia dimajukan ke meja-meja perundingan dengan Belanda oleh PBB dan negara juara PD II (AS). Meja-meja perundingan secara umum banyak merugikan Indonesia.
Dari mulai Perundingan Hoge Veluwe, Perundingan Pangkal Pinang, Perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville sampai berakhir di Konferensi Meja Bundar, posisi tawar Indonesia semakin diperlemah. Benang merah dari perundingan-perundingan itu adalah bagaimana Belanda bisa mengakuisisi kembali Indonesia sebagai bagian dari Hindia Belanda tanpa ”kontak fisik”. Memang usaha Belanda itu berhasil dengan terciptanya RIS tahun 1950, yang diawali oleh gerakan-gerakan politik dan militer Belanda dengan membentuk negara-negara boneka terlebih dulu.
Sekali lagi Indonesia bisa keluar dari masa-masa sulit tidak lepas dari faktor memanfaatkan situasi dan kondisi atau adanya kesempatan. Sudjatmoko menyebutnya ”Pilihan dan Peluang”. Kita bisa lepas dari Belanda, karena Belanda di Eropa diterkam Nazi Hitler, sebaliknya Belanda di Indonesia tak berdaya berhadapan dengan Facisme Jepang. Begitupun kita bisa merdeka lantaran Jepang di Bom Atom Sekutu. Kemudian Indonesia bisa memebentuk NKRI lantaran Belanda bisa dibodohi oleh RI, sehingga RIS lebur menjadi NKRI. Sejak dulu politik memang pandai-pandai memanfatkan kesempatan yang sekiranya menguntungkan.
Bersukurlah kita dengan segala kesempatan yang diberikan hingga kita bisa menikmati alam merdeka. Walaupun memang imperialisem-imperialisme gaya barus belum kita sadari. Tantangan ke depan negeri ini adalah menghadapi penjajahan-penjajahan gaya baru. Penjajahan gaya baru ini tidak lagi secara terang-terangan melakukan peperangan, tetapi bisa dengan sebuah perang ideologi, perang ekonomi, perang pengetahuan, dan perang kebudayaan.
Bagaimana peperangan itu dilancarakan secara tidak dirasakan oleh pihak yang diperangi. Dengan cara meruntuhkan dasar dari ketahanan negeri ini. Kita tahu negeri ini bisa merdeka lantaran persatuan dan kesatuan dari bangsa Indonesia. Bisa jadi persatuan dan kesatuan bangsa ini yang pertama diruntuhkan. Kita masih ingat persitiwa-persitiwa memilukan di Ambon dan Poso. Sepertinya sudah ada indikasi ke arah situ.
Dan tidak kurang santernya lagi isu kontemporer saat ini, dengan adanya peristiwa pengibaran bendera RMS di depan Kepala Negara RI. Sepertinya riak-riak kecil dibelakang muatan besar masih saja akan terus menggoyang keutuhan bangsa ini.  (tulisan terdahulu)


No comments: