Judul : Demiliterisasi Tentara , Pasang Surut Politik Militer 1945-2004
Pengarang : Dr. Abdoel Fattah
Penerbit/tahun terbit : LKIS / Oktober 2005
Tebal : xxiv + 400 halaman
Cukup banyak buku-buku yang mengaji mengenai militer (TNI) dan peran sertanya dalam politik di Indonesia. Baik dalam persepektif militer itu sendiri maupun dari “saudara tuanya” sendiri, perspektif sipil. Banyak dimensi yang dapat dijadikan rujukan akan hal tersebut. Tidak kurang juga pemerhati atau akademisi dari luar negeri yang tertarik dengan persoalan militer di Indonesia. Berbicara militer di Indonesia tidak lepas dari wacana hubungan sipil-militer. Seakan sudah menjadi topik yang tidak mudah dipisahkan, karena memang topik-topik tersebut sangat “enteng” naik kepermukaan seiring dengan perkembangan konstelasi politik dalam negeri Indonesia.
Ada satu buku referensi baru masih menyangkut topik hubungan sipil-militer di Indonesia. Buku itu adalah buah karya dari disertasi doktoral, Abdoel Fattah. Dilihat dari covernya buku tersebut agak unik, karena menampilkan foto presiden RI pertama, Soekarno yang tengah bersepeda bersama Sang Istri, Ibu Fatmawati ketika mengadakan kunjungan kenegaraannya di India pada tahun 1950. Seakan ingin berbicara bahwa sosok Soekarno seorang sipil yang selalu berpenampilan ala militer, yang konon seragamnya itu dinamakan pakaian revolusi, tidak mengenal dikotomi antara sipil-militer. Sipil itu dirinya dan dirinya jua adalah militer. Memang politik pada waktu itu menuntut adanya satu pigur pemimpin yang mampu menyatukan semua golongan.
Ada militer karena adanya sipil. Dapatlah dikatakan dengan logika tata negara paling dasar bahwa sipil mendahului lahirnya militer. Jika ditarik lagi maka ketika sebuah negara ada dan menyatakan berdemokrasi, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jelaslah bahwa rakyat tersebut adalah sipil. Seorang sipil yang berusia 18 tahun dan itupun kalau lulus tes barulah bisa menjadi milliter. Makanya di awal tulisan ini disebutkan bahwa sipil adalah saudara tuanya militer. Dan di negara-negara yang sudah mapan demokrasinya, sipil menjadi prioritas terdepan dalam memimpin negara.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di negara-negara yang masih dalam proses belajar berdemokrasi, negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang. Seperti halnya Indonesia. Di Indonesia sejak awal merdeka tahun 1945 nampaknya “urun rembuk” militer dalam politik sangat jelas terlihat sampai masa keemasannya di era Soeharto. Dalam bukunya, Abdoel Fattah tersebut secara rinci dan detail memaparkan peristiwa-peristiwa yang terkait dengan politik militer di Indonesia. Dengan analisis yang mendalam dan komperehensif, penulis yang memiliki background militer mencoba menganalisa dengan tidak timpang antara perspektif sipil maupun militer.
Ia memandang bahwa, memang benar militer pernah terlibat dalam dunia politik di Indonesia. Itu terjadi sejak awal kemerdekaan. Di mulai dengan banyak terlibatnya militer dalam menentukan kebijakasanaan-kebijaksaanan negara yang tengah menghadapi situasi sulit, diplomasi dan berperang. Pada masa itu juga hubungangan sipil-militer agak mengkhawatirkan. Karena militer sangat menentang sekali dengan politik sipil dalam hal mempertahankan kemerdekaan. Militer melihat sipil terlalu merendahkan militer sehingga banyak sekali tergantung dengan diplomasi dengan Belanda. Akibatnya adalah terjadi krisis militer, dimana perwira tertinggi militer pada waktu itu Soedirman dan A.H. Nasution meminta berhenti dari jabatannya karena kecewa kepada tuannya (pemerintah RI) mengenai politik berjuang.
Pada masa demokrasi parlementer sampai demokrasi terpimpin, setelah Panglima Besar Soedirman wafat praktis militer kehilangan sosok yang mereka anggap pemersatu dalam militer. Akibat pergolakan politik dan berlakunya darurat perang tahun 1957, menyebabkan semakin meluasnya peran tentara diluar bidang pertahanan. Munculah yang namanya konsep “jalan tengah tentara” dan konsep Presiden tentang demokrasi terpimpin serta penerapan golongan fungsional. Pada masa itu tentara menjadi kekuatan politik yang menonjol karena parpol kurang terorganisasi. Keterlibatan tentara dalam politik menjadi lebih jauh lagi didorong karena kedekatan PKI dengan Soekarno. TNI tidak senang dengan PKI dan masih sulit melupakan PKI pada tahun 1948 yang dianggap menusuk dari belakang.
Menjelang akhir demokrasi terpimpin, kewibawaan Soekarno menurun karena tidak menghiraukan aspirasi rakyat dan tentara untuk membubarkan PKI. Konflik tidak bisa lagi dihindari karena presiden melanggar ekslusivisme militer dengan menyetujui pembentukan “angkatan kelima”. Walaupun belum direalisasikan namun rencana itu dipandang akan menciptakan musuh fungsional dalam militer. Seperti pendapat Nordlinger (1990), tentara tidak menginginkan “musuh” fungsional yang tidak profesional di luar organisasi tentara yang resmi.
Puncak konflik segitiga antara Soekarno, TNI dan PKI adalah peristiwa G30S/PKI. Akhirnya, PKI dibubarkan oleh Soeharto, dan Soekarno pun, yang sejak muda seluruh hidupnya dicurahkan untuk perjuangan bangsa dan sebelumnya sangat disegani karena berjasa besar kepada bangsa dan negaranya dan menjadi pemimpin kaliber dunia, jatuh perlahan di bawah strategi Soeharto, alon-alon waton kelakon (lambat asal tercapai), yang dilakukan secara konstitusional. Orde Lama berakhir, mulailah Orde Baru yang ditandai dengan tampilnya militer di panggung politik Indonesia, yang dilegitimasikan dengan dwifungsi ABRI.
Dwifungsi ABRI digunakan sebagai alat kekuasaan dan alat politik Orde Baru pimpinan Soeharto. Tentara juga digunakan untuk mendukung Golkar (sekarang Partai Golkar) sebagai partai pemerintah. Format politik Orde Baru yang sentralistik dengan pendekatan keamanan dan pendayagunaan serta perluasan dwifungsi ABRI telah mendorong tentara mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara dengan pola tindakan yang otokratis dan represif. Akibatnya telah menghalangi perkembangan kehidupan golongan sipil (civil society) dan pembangunan demokrasi di Indonesia.
Sekali lagi sejarah sungguh kepala batu. Ia punya jalannya sendiri, syarat dan hukumnya sendiri. Ia tidak takluk pada Jenderal, Presiden atau Imam sekalipun. Begitupun Soeharto adalah Soeharto, kekerasan hati Soeharto dan pembantu-pembantunya yang tidak mau dikritik telah menyebabkan protes itu berkelanjutan. Ending Soeharto pun tiba di tahun 1998, ia terpaksa harus lengser dari kursi kepresidenannya yang telah ia duduki selama 32 tahun. Memecahkan rekor presiden terlama berkuasa di Indonesia dan seharusnya patut mendapatkan “rekor” dari Muri.
Sejak itulah adanya tuntutan reformasi yang berimbas juga pada paradigma dalam tubuh militer. Demi mewujudkan kehidupan bangsa yang demokratis dan modern, TNI menyatakan akan melakukan reformasi internal dengan paradigma barunya, yakni tiga bulan setelah jatuhnya Soeharto.
Disinilah inti apa yang dibicarakan Abdoel Fattah, yaitu proses demiliterisasi tentara. Mulai saat itu TNI merumuskan paradigma barunya dengan serangkaian tindakan redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran untuk menempatkan TNI pada posisi yang sesuai dengan kehendak rakyat. Dengan paradigma barunya, TNI secara bertahap meninggalkan peran sosial politik, meninggalkan doktrin dwifungsi, dan berfokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara. Karenanya, arah yang dituju TNI adalah menjadi tentara yang profesional, efektif, efesien, dan modern (PEEM) sebagai alat pertahan negara dalam kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis dan modern.
Sebagaimana korelasinya dengan pembanguan demokrasi di Indonesia, Abdoel Fattah meyakini bahwa dengan adanya paradigma baru dari TNI tersebut proses pembangunan demokrasi di Indonesia akan berjalan. Dimana TNI menjadi pendukung pembangunan demokrasi di Indonesia. Sampai pada kesimpulan terakhirnya, bahwa hal tersebut memerlukan keterampilan politik, khususnya berdemokrasi, ketekunan, kesabaran dan penciptaan kondisi yang dapat mendukung perkembangan demokrasi.
Sebagaimana yang dikomentari oleh pengamat militer Indonesia dari Universitas Nasional Asutralia (The Australian National University), Prof. Harold Crouch sekaligus menjadi penguji dan pemberi saran kepada Abdoel Fattah, bahwa disertasi tersebut memberikan gambaran yang komprehensif tentang perkembangan sikap politik militer. Akhirnya patutlah jadi pertimbangan utama bagi peminat sejarah politik di Indonesia khususnya dan semua pecinta buku-buku umumnya. Karena dengan begitu menjadi semakin luaslah pengetahuan kita akan problematika dan dinamika politik di Indonesia yang sedang akan menapaki babak baru dalam demokrasi.
Saturday, August 11, 2007
Saatnya Militer Kembali ke Barak
Jas Merah Pemuda
(Mahatma Gandhi)
Hari Sumpah Pemuda (SP) yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober memiliki momentum nasional yang mengingatkan semangat persatuan dan kesatuan pemuda. Manifestasi solidaritas berbangsa yang diperjuangkan dalam pergerakan pemuda, yang tergabung dalam Jong Java atau Jong Islamiten Bond. Pada masa itu telah ada tantangan nyata untuk mewujudkan cita-cita memerdekakan diri yakni menjadi sebuah “nation”, salah satu realisasi dari menyadari arti pentingnya nasionalisme. “Sumpah”, menjadi solusi demi tegaknya martabat bangsa. “Sumpah” untuk mewujudkan ikatan persaudaraan, untuk memperkokoh integritas nasional sebagai syarat mutlak mewujudkan cita-cita bangsa. SP yang merupakan “resolusi” Kongres Pemuda Kedua pada tahun 1928 itu merupakan perwujudan tekad bersama semua unsur pemuda di Nusantara. Membulatkan tekad dengan menyatukan bangsa, “satu bangsa Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia”.
Keberadaan pemuda saat ini mengalami distorsi semangat nasionalismenya. Sebagian di antara pemuda terjerembab ke dalam materialisme, hedonisme, konsumersime, individualisme, permisifisme, dan sekularisme. Kita masih berlega hati dengan adanya sekelompok pemuda yang berprestasi, mempunyai kepribadian, dan memiliki integritas moral yang membanggakan.
Di era globalisasi saat ini, akses atau transformasi merajalela dan mudahnya pengaruh asing yang sebenarnya tidak cocok, masuk dan diambil oleh pemuda. Mungkin kita sebal melihat, mendengar, atau membaca di setiap media tentang kenakalan remaja. Entah itu tawuran, terlibat narkoba, kriminalitas atau pergaulan bebas yang semakin mencemaskan. Kemudian yang tercipta adalah generasi muda yang jauh dari moralitas, rapuh dan berwatak gagap, diperparah dengan lingkungan sosial yang amburadul. Cukup beralasan kalau kemudian terlahir generasi yang tidak dapat diandalkan, menghianati amanat Generasi ‘28.
Pemuda adalah tulang punggung bangsa, bila pemudanya rapuh maka bangsanya pun lumpuh. Sebaliknya bila pemudanya kuat, maka bangsanya pun akan kuat juga. Demi tegaknya bangsa ini seharunya pemuda sadar bahwa nasib bangsa, negara dan agama ada di tangannya. Dari rentetan peristiwa sejarah banyak membuktikan peran atau gerakan pemuda di Indonesia. Dari masa perjuangan, pergerakan, dan perang kemerdekaan, peran pemuda berada di barisan depan.
Sampai bergulirnya Reformasi ‘98, pemudalah yang berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru. Mereka telah sukses merumuskan indentitas diri yang otentik dan konsepsi kepribadian yang dinamis dalam pergumulan sejarah bangsanya. Untuk itu sebagai pemuda harapan bangsa dituntut untuk memperbaiki eksistensi diri dengan menjadi agen perubahan (agent of change), memiliki idealisme yang mulia, kritis dan peka terhadap gejala sosial, serta memiliki sikap pemberani dan rela berkorban demi nusa dan bangsa.
Maka sungguh tepat momentum SP kali ini kita jadikan sebagai batu loncatan (starting point) bersama untuk mencermati peran generasi muda dari penyadaran urgenitas nasionalisme.
Penerapannya tentu pada kesamaan landasan dasar bagi normalisasi kehidupan masyarakat yang damai sejahtera, yang melintasi batas-batas identitas etnis dan agama. Semoga setiap zaman yang dijalani bangsa ini dapat mencetak generasi muda sebagai generasi baru yang santun, elok, well educated, dan civilized.
Dunia yang sehat dalam berbagai aspeknya akan menjadi cermin jernih bagi generasi muda untuk berkaca diri. Generasi sekarang bisa belajar dari berbagai kekeliruan dan kegagalan generasi sebelumnya, sehingga terhindar dari reproduksi sejarah yang buram dan selamat dari jebakan epigon sejarah.
Untuk itu kita perlu menjadi bangsa yang mengenal sejarahnya agar menjadi bangsa yang mempunyai identitas agar tidak menjadi bangsa tanpa identitas. Sartono Kartodirdjo menyebutnya “Contradiction in terminis”.
Riset Sejarah
Ada satu fenomena dari para mahasiswa sejarah umumnya, mereka kebanyakan dihadapkan pada masalah “bingung” akan menulis apa ? Untuk mengatasi hal tersebut ada beberapa cara atau tips. Pertama bulatkan dulu niat. Sebab jika tekad atau niat ini belum benar-benar mantap atau setengah hati, maka riset yang dihasilkan pun nantinya hanya “setengah hati” saja. Buanglah jauh-jauh pikiran-pikiran atau stereotif buruk mengenai riset itu nantinya. Janganlah berpikiran “Ah, buat apa ngoyo riset toh nantinya hasilnya juga akan duduk manis di rak malas perpustakaan saja”. Atau pikiran “Ah, yang penting jadi, toh ini hanya untuk memenuhi satu syarat kelulusan saja”. Kiranya idealisme dari masing-masing individu berbeda-beda, dan untuk masalah riset ini idealisme cukup penting juga.
Nah, jika tekad itu sudah bulat. Mulailah bersemangat untuk menelusuri bahan-bahan. Atau jika, masalahnya terbentur pada “bingung”, alangkah baiknya mulailah rajin-rajin membaca tema-tema yang disenangi. Niscaya di situ satu dua tema akan menjernihkan pikiran Anda dan membukakan kebuntuan Si Bingung itu. Cari juga buku-buku hasil riset yang serupa, jurnal-jurnal ilmiah, atau sering-seringlah berurusan dengan perpustakaan kampus untuk meluruskan niat dan menjernihkan pikiran untuk riset tersebut. Biasanya ide itu datang tidak diduga-duga, untuk itu dari pada Anda menyesal, siapkanlah selalu catatan kecil untuk menuliskan ide-ide yang sesekali keluar itu. Kiranya di zaman ini mencari tema-tema cukup banyak cara.
Sudah cukup banyak pula publikasi-publikasi ilmiah yang di-online-kan di internet. Nah, tidak ada salahnya juga Anda searching tema-tema yang Anda kehendaki di internet. Anda bisa memanfaatkan search engine paling populer dan “sakti”, seperti Google.com atau sejenisnya kalau ada. Dalam proses pencarian ini, Anda dituntut untuk pintar-pintar menggunakan “mesin pencari” secara intensif. Pelajarilah terlebih dahulu bagaimana melakukan pencarian dengan Google yang efektif, agar kita mendapatkan hasil yang benar-benar kita inginkan. Sebab di dunia maya jika tidak “pas” keyword-nya, maka akan didapat ribuan data-data yang tidak sesuai dengan tema yang dikehendaki.
Jika dari cara-cara itu sudah didapat satu tema yang ingin Anda garap, alangkah baiknya mulailah merangkai judul dan kerangkanya. Sebab dengan menentukan judul dan menyusun kerangka, itu akan memudahkan dalam proses penyusunannya. Jangan lupa buat juga gambaran umum dari riset itu. Yang pokok adalah Judul, latar belakang, rumusan malalah, kajian teori jika ada dan tinjaun pustaka. Selanjutnya diskusikan dulu dengan teman dekat Anda atau alangkah baiknya langsung dengan dosen pembimbing Anda. Sebab biasanya dosen adalah kunci dari kesuksesan riset Anda. Lebarkanlah dada Anda untuk menerima semua nasehat-nasehat dari dosen. Untuk pertama ada baiknya Anda mencoba melakukan apa-apa yang dianjurkan oleh dosen. Baru, jika Anda tidak bisa menjalaninya, bisa dikonsultasikannya kembali. Ini semua untuk membuat suatu alur kerja riset Anda tidak lepas kendali. Sebab yang namanya riset akademis itu semua tidak lepas dari kontrol dosen pembimbing.
Dalam penelitian atau riset sejarah hal yang paling pokok dan penting keberadaannya dalam riset yaitu adanya sumber primer. Sebaiknya Anda jangan sekali-kali memaksakan kehendak jika Anda tidak menemukan sumber primernya. Sebab dalam riset sejarah empiris, adanya sumber primer ini adalah satu keharusan. Baru dinamakan sejarah jika tulisannya itu didasarkan pada sumber-sumber sejarah. Kiranya, yang pertama harus “hunting” yakni sumber primer ini.
Menengok Kembali Sejarah
“Sejarah bagi sesuatu bangsa adalah satu catatan kenangan, namun bukan sekedar diketahui, tetapi dari situlah bangsa itu hidup. Dia adalah karya dasar yang diletakan dan bangsa itu mengikatkan diri kepadanya, jika mereka tidak mengendaki menjadi sirna, tetapi mengginginkan untuk mendapat tempat di dalam humanitas”. ( Karl Jaspers, 1968).
Apakah Sejarah Itu ?
Apakah makna yang terkandung dalam sejarah hanyalah rekaan peristiwa saja ataukah memiliki makna yang sangat dalam? Pertanyaan yang penting untuk dikaji lebih lanjut. Karena itu akan memberikan pencerahan pemaknaan tentang sejarah. Bahwasanya sejarah kalau dirunut lebih jauh merupakan asal kata dari bahasa Arab yaitu syajarah yang berarti ‘pohon’. Kata ini diambil karena mungkin sejarah menunjukan konotasi genealogi, yaitu pohon keluarga, yang menunjukan pada suatu asal usul marga.
Sejarah menurut orang Jerman disebut dengan Geschichte, sedangkan orang Inggris menyebutnya history yang berasal dari kata Yunani istoria. Istoria yang berarti ilmu untuk segala macam ilmu pengetahuan tentang gejala alam, baik yang disusun secara kronologis maupun yang tidak. Dalam proses perkembangannya, kata istoria khusus digunakan untuk ilmu pengetahuan yang disusun secara kronologis, terutama yang menyangkut hal ikhwal manusia, sedangkan untuk pengetahuan yang disusun secara tidak kronologis digunakan dengan kata scientia yang berasala dari kata Latin.
Ada ungkapan yang telah menjadi kaidah dalam sejarah menyatakan bahwa : “Dengan mempelajari sejarah akan menjadikan kita lebih bijaksana terhadap suatu peristiwa”. Historia vittae Magistra.
Guna sejarah adalah sebagai cermin untuk dijadikan pedoman bagi masa kini dan masa mendatang. Untuk itu para sejarawan dituntut untuk bertindak jujur, tidak menggelapkan apalagi menghapuskan peristiwa sejarah dengan dalih apapun. Karena kepalsuan sejarah akan menghasilkan cermin yang palsu juga. Kebenaran sejarah haruslah teruji. Tugas menjalankan sejarah secara benar dan utuh adalah kewajiban mulia. Penggunaan pengetahuan sejarah dengan tujuan propaganda bagi kepentingan kekuasaan akan melahirkan kebohongan sejarah.
Dengan mempelajari sejarah dapat memberikan manfaat bagi orang yang mempelajarinya. Manfaat itu ialah dia menjadi terlatih untuk menganalisa, mempergunakan nalar dalam mengaitkan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain, mampu membaca peristiwa dan menginterpretasikannya; bahkan juga dapat meramalkan peristiwa yang bakal terjadi dengan mengamati gejala-gejala yang sedang terjadi dengan mendasarkan pada peristiwa sejarah masa lalu.
Penulisan Sejarah Terbaik
Untuk menghindari pengetahuan pseudo tentang sejarah , maka tipe yang dianggap baik dalam penulisan sejarah pada dewasa ini ialah tipe filsafat sejarah. Filsafat sejarah adalah pengkajiaan dan penelaahan peristiwa-peristiwa sejarah dengan mempertimbangkan kebenaran dan kepalsuannya dengan cara melihat hubungan sebab akibat, membandingkan peristiwa itu dengan peristiwa yang lain yang serupa, mencari persamaan dan perbedaan-perbedaannya dan selanjutnya menarik kesimpulan-kesimpulan.
Filsafat sejarah mengikuti tipe filsafat pada umumnya, yaitu spekulatif dan kritik. kritik filsafat sejarah , dalam banyak hal sama seperti filsafat sain, yaitu berusaha menjelaskan hakikat yang dipertanyakan oleh si sejarawan sendiri. Dia mengkritik keyakinan dasar yang dia pergunakan seperti konsep sebab, penjelasan, fakta dan sebagainya. Kritik filsafat sejarah mempertanyakan bagaimana sejarawan memahami masa lalu. Apakah metode mempertanyakan berbeda dengan jenis pertanyaan yang digunakan pada ilmu pengetahuan alam? Apakah penjelasan kesejarahan dan apakah dia berbeda dengan penjelasan sain? Dapatkah seorang sejarawan bertindak objektif? Banyak filsuf kontemporer merasa yakin bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah problema yang absah yang dihadapkan kepada filsuf sejarah dan kesemuanya berusaha untuk menanggalkan formulasi-formulasi teori-teori spekulatif tentang sejarah.
Penutup
Dari uraian singkat di atas jadi jelaslah bahwa ilmu sejarah tidak bisa di pisahkan dari kehidupan manusia baik sebagai individu maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa suatu bangsa yang tidak mengenal sejarahnya berarti bangsa itu tidak mempunyai identitas, padahal bangsa tanpa identitas adalah contradiction in terminis. Maka benar yang dikatakan Soekarno “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”, karena dengan melupakan sejarah menyebabkan kita terjebak dalam amnesia historis. Sejarah adalah cermin kejujuran bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, Louis, 1985, terjemahan Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Kartodirdjo, Sartono, 1999, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah
Pergerakan Nasional ( Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme ) Jilid 2, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Kartodirdjo, Sartono, 1968, Lembaran Sejarah No. 2: Beberapa Fasal dari Historiografi Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Kanisius.
Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.
Nourouzzaman, Shiddiqi, 1984, Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik
Metodologis, Jakarta : PLP2M( Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat.