Friday, January 28, 2011
Mitos Dibalik Sejarah Cadas Pangeran
Kejadian ganjil dan aneh menyelimuti proses pengerjaan dan pascarampungnya patung Pangeran Kornel ditempatkan di persimpangan jalan Cadas Pangeran. Apakah itu sinyalemen penentangan dimensi lain, lantaran cerita sejarahnya keliru?
Tempat patung Pangeran Kornel berada sekarang, di persimpangan jalan Cadas Pangeran, di tengah masyarakat sekitar menyimpan cerita yang menjadi mitos tersendiri. Kendati mereka tidak tahu pasti kebenaran sejarahnya seperti apa. Rupanya keberadaan patung yang berangkat dari mitos itu menciptakan mitos lagi yang sampai sekarang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Suatu hari seorang remaja putri yang lagi kasmaran meminta pada pacarnya untuk difoto di patung tersebut. Pacarnya pun mengabulkan dan akhirnya mengabadikan keinginan kekasihnya itu berpoto dengan naik untuk mendapatkan latar berjabattangan patung tersebut.
Namun, sepulangnya dari Cadas Pangeran sepasang kekasih itu langsung jatuh sakit. Itu sepenggal kisah yang santer berkembang di masyarakat, yang menciptakan mitos tersendiri setelah dibuatnya patung itu pada masa pemerintahan Bupati Sutardja pada tahun 1987.
Cerita yang sama pula muncul saat patung itu dibuat dan bisa berdiri menggah di sana. Tahun 1987 tiap instansi pemerintah diwajibkan memberikan karya terbaiknya untuk dipajang mempercantik sudut kota Sumedang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumedang (sekarang Dinas Pendidikan,red), akhirnya menyumbangkan karya terbaiknya berupa patung Pangeran Kornel yang berjabattangan dengan orang yang disebut Daendels tersebut. Kini orang itu masih ingat betul proses pengerjaan sampai selesainya patung itu.
Caltim Prananjaya adalah pembuat patung tersebut, yang kini duduk sebagai Kasi Budaya Disbudparpora. Ia mendapatkan tugas dari kantornya untuk mengerjakan patung tersebut dalam waktu secepat mungkin. Dengan dibantu beberapa orang lainnya, dalam waktu satu bulan patung itu akhirnya rampung.
Selama proses pengerjaan, Caltim mengakui dirinya hanya menjalankan perintah, semua sumber referensi pengerjaannya dari Yayasan Pangeran Sumedang. Bahkan, waktu itu cerita Caltim, yayasan sampai terlibat langsung dan kerap datang ke tempat pengerjaannya yang dibuat di rumah Caltim di Tomo.
“Waktu itu belum ada hasil penelitian seperti ini,” komentar Caltim setelah membaca makalah Djoko Marihandono yang menyimpulkan sosok yang berjabattangan dengan Pangeran Kornel bukanlah Daendels seperti cerita sejarah yang berkembang sampai beberapa generasi terakhir ini.
Keanehan pun menyelimuti pascarampungnya patung dan berhasil ditempatkan di persimpangan jalan Cadas Pangeran. Waktu itu, sebanyak tidak kurang dari 48 orang pemuda yang ikut membantu mendirikan patung itu langsung mengalami kesurupan. “Entahlah, kami pun waktu itu tidak berbuat yang aneh-aneh.
Hanya saja dari yayasan menyarankan kepada kami untuk berziarah ke makam Pangeran Kornel yang berada di Kompleks Pemakaman Pasarean Gede. “Anehnya lagi setelah ziarah semua orang yang kesurupan kembali sadar,” terang Caltim yang masih terheran-heran. Apakah mungkin, kesurupan itu lantaran salah cerita sejarahnya.
Sampai saat ini, di patung tersebut masih sering disuguhi sesajen. Seperti dituturkan, Asep, 28, warga sekitar patung yang membuka usaha tambal ban tidak jauh dari patung tersebut. Menurutnya, setiap malam Selasa, kerap ada orang yang menaruh sesajen di bawah patung tersebut. “Kami pun dulu juga sering ikut memberikan sesaji disitu berupa tape singkong bakar,” aku Asep yang kini tidak lagi menaruh sesaji.
Asep mengakui kalau dulu di awal-awal berdirinya patung di persimpangan jalan tersebut banyak hal ganjil. Asep dan orang-orang sekitar patung itu kerap memperingatkan jika ada orang yang akan berbuat aneh-aneh dipatung tersebut. “Misalnya kalau ada yang mau naik ke patung itu, saya peringatkan agar mengurungkan niatnya,” tambah Asep. Sebab dulu sempat, cerita Asep ada anak remaja naik ke patung tersebut lalu entah kenapa ia menampar wajah patung yang dianggap Deandels tersebut. “Setelah turun ia sontak tereseok-seok ke kiri dan ke kanan seperti orang yang ditampar berkali-kali,” tutur Asep.
Lantas apa hubungannya kejadian-kejadian ganjil dan temuan hasil penelitian dosen UI tersebut. Apakah lantaran cerita sejarahnya keliru? Selengkapnya......
Menyibak Tabir Sejarah Cadas Pangeran (Bagian 2)
Penuh Kontradiksi dan Keanehan, Mitos itu Legitimasi Kekuasaan
Pendekatan dekonstruksi yang dilakukan Djoko Marihandono cukup menarik dan memberikan sisi lain dari cerita sejarah Cadas Pangeran selama ini. Menurutnya, mitos pembangunan Cadas Pangeran semasa pemerintahan kolonial tersebut sengaja diciptakan sedemikian mengesankan perlawanan tajam antara pribumi dengan pemerintah kolonial. Tujuannya tiada lain sebagai upaya polarisasi politik, dari rezim pasca Daendels yang sangat menentangnya.
Dengan adanya mitos tentang pembangunan jalan tersebut, ungkap Djoko, polarisasi politik yang terjadi selama dan pasca pemerintahan Herman Willem Daendels, bukan hanya terbatas pada orang Eropa tetapi juga melibatkan orang pribumi.
“Munculnya legenda di atas menunjukkan bahwa beberapa kalangan pejabat Eropa berusaha menciptakan citra tentang Daendels di mata para elit penguasa dan masyarakat pribumi. Penentangan oleh Pangeran Kusumadinata membuktikan bahwa program Daendels menimbulkan penderitaan dan akhirnya memunculkan perlawanan rakyat,” kata Djoko Marihandono dalam makalahnya berjudul Mendekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah Dan Tradisi Lisan.
Menurutnya, hal itu sengaja dimunculkan dan digunakan oleh orang-orang Eropa yang anti-Daendels untuk menyatakan bahwa mega proyek Daendels tidak berhasil mengentaskan kondisi kehidupan rakyat.
Sementara itu, Djoko pun cukup jeli dengan mitos perlawanan kepada kolonial yang dilakukan Pangeran Kusumadinata. “Hal ini sangat menarik mengingat dalam masyarakat Sunda terutama Sumedang tidak banyak menyampaikan keluhan ketika mengalami eksploitasi oleh VOC sejak satu setengah abad sebelumnya, tiba-tiba memunculkan suatu legenda yang bersifat penentangan terhadap suatu program jangka pendek oleh penguasa kolonial,” tulis Djoko retoris.
Sampai pada kesimpulan terakhirnya, Djoko tetap kukuh bahwa cerita aksi protes itu adalah legenda yang merupakan sebuah mitos. Bahwa fungsi mitos, kata Djoko terbatas sebagai identitas budaya lokal yang tumbuh dan beredar di kalangan masyarakat tertentu. Mitos selain mengandung banyak kelemahan, di samping itu mitos juga sengaja dibuat untuk tujuan tertentu seperti menonjolkan peran seseorang dengan tujuan legitimasi kekuasaan.
Ada beberapa kelemahan yang tampak pada mitos Pangeran Kornel tersebut. Djoko mulai bermain retorika sederhana dengan sebuah jawaban atas pertanyaan berikut ini : Mungkinkan Daendels akan membiarkan seorang bupati melawan kebijakannya dan menantang di depannya, mengingat selama periode pemerintahannya, Sultan Banten diturunkan dan istananya dihancurkan?; tiga orang raja Jawa diturunkan dan dibuang atas perintahnya setelah terbukti bahwa mereka menentangnya?
“Di Banten, Cirebon dan Yogyakarta dengan ikatan feodal yang sangat kuat, Daendels bertindak tegas tanpa memperhitungkan resiko terjadinya pergolakan atau perlawanan. Jika di Sumedang yang terbatas pada suatu kabupaten, terjadi perbuatan yang menentang kebijakannya, Daendels pasti tidak akan segan mengerahkan kekuatan militernya dan menghukum penguasa setempat,” urai Djoko. Dalam mitos itu Daendels digambarkan sebagai seorang yang lemah dan mudah menerima tuntutan yang diajukan dengan sikap menentangnya. “Ini merupakan pencitraan yang tidak tepat,” lanjutnya lagi.
Tentang sosok Pangeran Kusumadinata, Djoko melihat beberapa kelemahan juga dalam mitos itu. Pangeran Kusumadinata dilahirkan pada tahun 1791, atau berumur 17 tahun ketika Daendels melaksanakan proyek jalan rayanya tersebut. “Meskipun ada peluang bagi seorang anak untuk menduduki jabatan sebagai bupati di wilayah Sunda dengan perwalian, bupati dalam usia 16-17 tahun sulit digambarkan bisa berhadapan dengan seorang panglima tertinggi angkatan bersenjata Prancis yang berkuasa atas seluruh kawasan sebelah timur Tanjung Harapan,” nyatanya lagi.
Di akhir makalahnya, Djoko hanya menutupnya dengan beberapa pertanyaan berikut: sejauh mana kepekaan Pangeran Kusumadinata terhadap kondisi rakyatnya? Apakah sebelum pembangunan jalan ini dan sesudah peristiwa tersebut Pangeran Kusumadinata mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan warganya? Bagaimana peran orang-orang di sekitarnya dalam menghadapi tuntutan Daendels? “Semua pertanyaan ini memerlukan pengkajian lebih lanjut, apabila mitos tersebut masih dianggap layak untuk digunakan sebagai sumber sejarah khususnya dalam penulisan sejarah Cadas Pangeran,” tulis Djoko menutup makalahnya. Selengkapnya......
Menyibak Tabir Sejarah Cadas Pangeran (Bagian 1)
Deandels |
Selama ini semua orang tahu kalau patung yang berdiri di persimpangan jalan Cadas Pangeran merupakan rekaman cerita sejarah kelam Cadas Pangeran dalam masa pembangunannya di masa penjajahan kolonial. Tetapi benarkan orang yang bersalaman dengan tangan kiri oleh Pangeran Kornel itu Deandels?
Kenyataan itu terungkap dalam sebuah makalah ilmiah karya Dr.M.I.Djoko Marihandono S.S.,M.Si seorang pengajar tetap pada Program Studi Prancis, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, yang berjudul Mendekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah Dan Tradisi Lisan. Makalah tersebut mencoba mengungkap tabir mitos pembangunan jalan jalur Bandung—Sumedang yang memunculkan banyak mitos yang tumbuh di masyarakat.
Djoko mencoba mendekontruksikan kembali sejarah Cadaspangeran dengan cara membandingkan antara sejarah dan tradisi lisan. “Pembangunan jalur ini menumbuhkan banyak mitos karena kondisi medan alamnya yang sangat berat, melalui lereng gunung yang bercadas, yang secara geografis berbeda dengan pembangunan jalan jalur lainnya yang dikerjakan Deandels,” urai Djoko pada halaman empat pembukaan makalahnya.
Pada poin kelima makalah dengan subjudul ‘Dekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Cadas Pangeran’, Djoko mengelaborasi kajiannya dengan mempertegas pendekatan yang digunakannya yakni dekonstruksi sejarah. Tujuan utama dari metode dekonstruksi urai Djoko yaitu pemberian makna baru atas interpretasi terhadap fakta sejarah.
Data arsip yang digunakan sebagai bahan kajian adalah kumpulan surat-surat yang tersimpan dalam bundel Priangan yang tersimpan di Arsip Nasional RI (ANRI). Arsip ini berasal dari korespondensi selama pertengahan tahun 1808 dari para penguasa pribumi kepada para pejabat Belanda, khususnya yang ditugasi untuk mengawasi pelaksanaan proyek jalan raya tersebut.
Dari kumpulan surat tersebut tampaknya berbeda dengan apa yang dimuat dalam mitos yang menyampaikan bahwa Pangeran Kusumadinata atau dikenal Pangeran Kornel (1971-1828) menentang pembangunan jalan raya tersebut dengan alasan daerah yang dilewati (Cadas Pangeran) sangat memberatkan bagi tenaga kerjanya. “Sebaliknya bupati Sumedang (tanpa nama) yang disebut-sebut dalam arsip tidak menyatakan keberatan sama sekali, bahkan menawarkan bantuannya lebih lanjut kepada penguasa kolonial jika masih diperlukan,” tulis Djoko pada halaman 15.
Peristiwa kedatangan seorang Gubernur Jenderal ke suatu daerah akan meninggalkan catatan arsip yang cukup panjang mulai dari laporan keberangkatannya sampai kembalinya dan jalur yang ditempuhnya, pasti akan dicatat secara lengkap dan tersimpan dalam arsip. “Peristiwa pertemuan Gubernur Jenderal Daendels dan Pangeran Kusumadinata tidak tertulis dalam arsip mana pun, termasuk juga dalam laporan Daendels sendiri kepada Menteri Perdagangan dan Koloni Van der Heim,” jelas Djoko masih di halaman 15. Di samping arsip, beberapa tulisan leksikografi yang membahas tentang masa pemerintahan Daendels juga tidak menyebut sebuah peristiwa terjadi di Cadas Pangeran.
Lebih lanjut, Djoko mencoba menganalisanya dari sisi temporal antara yang tertera pada prasasti di Cadas Pangeran dengan masa-masa penting Deandels tinggal di Hindia Belanda. Dalam prasasti itu tertulis tanggal pembuatannya antara 26 November 1811 sampai dengan 12 Maret 1812.
Berdasarkan sumber arsip, Daendels mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 16 Mei 1811 ketika harus menyerahkan jabatannya kepada Jan Willem Janssens. Pada tanggal 29 Juni 1811 Daendels berlayar kembali ke Eropa dari pelabuhan di Surabaya. Pada bulan September 1811 ia diterima oleh Napoléon Bonaparte di Paris Prancis.
“Dengan demikian periode yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut (tanggal 26 November 1811 sampai dengan 12 maret 1812) bukan masa pemerintahan Daendels, melainkan masa pemerintahan Raffles (Inggris),” urai Djoko.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, lantas siapakah orang yang ditemui Pangeran Kusumadinata dan diajak berjabattangan dengan menggunakan tangan kiri itu? Berdasarkan kenyataan itu, Djoko menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada sama sekali pertemuan antara Pengeran Kusumadinata dengan Deandels di Cadas Pangeran. Begitu juga setelah masa pemerintahan Deandels digantikan oleh Raffles sangat tidak mungkin. Lantaran seperti diketahui Djoko dari arsip pemerintah Inggris (Engelsch Tusschenbestuur) tidak pernah tercatat kunjungan Raffles ke daerah Priangan selama tahun pertama pemerintahannya.
Menurut Djoko, kemungkinan besar yang bisa diduga adalah bahwa pejabat yang bertemu dengan Pangeran Kusumadinata di Cadas Pangeran hanya seorang pejabat tinggi Inggris, khususnya yang ditugasi untuk mengawasi proyek perluasan jalan yang ada. Mengingat usia Pangeran Kusumadinata, pada saat peristiwa yang ada dalam prasasti itu, baru 20 tahun. Selengkapnya......
Friday, January 21, 2011
Perlawanan di Aceh (1873–1904)
Cut Nyak Dien |
Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825–1830)
Pangeran Diponegoro |
Perlawanan Kaum Paderi (1821–1838 )
Tuanku Imam Bonjol |
Perlawanan Rakyat Maluku di Bawah Thomas Matullesi (1817)
Kapitan Pattimura |
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830–1870
a. Latar Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenisjenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.
b. Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1) Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3) Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6) Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepalakepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
c. Pelaksanaan Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
1) Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
2) Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata
tidak dikembalikan.
d. Akibat Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.
1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a) Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b) Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c) Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d) Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e) Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.
2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a) Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b) Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d) Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e) Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f) Perdagangan berkembang pesat.
e. Akhir Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3) Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
Sumber: E-Book BSE Selengkapnya......
Monday, January 17, 2011
Benarkah Yogyakarta Ada Dua?
Jika kita mendengar kata Yogyakarta, maka pikiran kita pasti langsung terbesit dengan ibu kota provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kota yang menjadi ikon budaya tidak saja lokal tapi mancanegara. Kota yang terkenal dengan makanan khasnya gudeg dan beraneka macam budaya maupun objek wisata.
Terus dimana letak persamaannya dengan nama tempat yang hanya ibu kota kecamatan saja, Buahdua yang merupakan salah satu dari 26 kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Satu yang tidak dipungkiri adalah suasana zaman dan pengalaman batin historis sewaktu mempertahankan kemerdekaan.
Memang secara langsung tidak ada hubungan tetapi dilihat dari pengalaman sejarah, dua tempat ini terasa dekat dan akrab. Semuanya kembali ke tahun 1948 setelah Perjanjian Renville ditandatangani sehingga RI tinggallah Yogyakarta saja. Karena alasan politis, sebagian TNI dari Jawa Barat harus menyingkir ke wilayah negara bagian RI di Yogya.
Sejak saat itulah, mulai dirangkai hubungan historis sampai akhirnya TNI dari Yogyakarta kembali lagi ke Jawa Barat dan pertama menginjakan pengaruh kekuatan Siliwangi yang semakin kuat cengkramannya di bumi tanah Pasundan ini.
Rintangan tentara Siliwangi yang pulang kembali ke haribaan kampung halamannya menghadang di medan perjalanan. Jika sewaktu berangkat Siliwangi dihantarkan sampai Semarang dengan menumpang kapal laut, maka sewaktu long march Siliwangi berjalan kaki menembus hutan belantara Jawa yang berbahaya. Entah berapa prajurit Siliwangi yang gugur di medan laga sewaktu long march.
Begitu pun setibanya di bumi Pasundan, rintangan silih berganti datang. Baik dengan pertentangan intrik militer dalam tubuh Siliwangi sendiri, maupun dengan laskar perang yang tadinya sehaluan setelah pulang kembali mereka nyata-nyata menjadi batu sandungan yang menjadi lawan tanding tambahan selain Belanda.
Laskar-laskar tentara Islam yang tergabung dalam barisan Darul Islam Kartusuwiryo pun tak pelak banyak mewarnai peperangan tak terhindarkan. Situasi politik di Jawa Barat semakin runyam. Selain harus berhadapan dengan Belanda, Siliwangi pun terpaksa berperang dengan saudara sendiri baik itu di dalam tubuh Siliwangi maupun dengan DI.
Pecahlah konflik segitiga di Jawa Barat. Peperangan dengan tentara Siliwangi terjadi karena perbedaan prinsip perjuangan di Jawa Barat. Sebagian tentara Siliwangi ketika gagasan Negara Pasundan terbentuk ada yang sejalan dengan cita-cita perjuangannya. Ada pula sebagian tentara Siliwangi yang memang jauh bersebrangan. Sampai pada akhirnya benar-benar menjadi lawan.
Ada beberapa hipotesis dari beberapa pengamat militer, yang mengatakan Siliwangi yang setuju dengan terbentuknya Negara Pasundan lantaran mereka telah terbujuk oleh oportunis kaum federalis yang diiming-imingi pangkat dan jabatan jika kelak negara tersebut berdiri sendiri. (*)
Kepentingan Asing Dibalik Gerakan Separatis Ambon dan Papua
Kiranya benar pernyataan Soeripto, salah seorang angggota Komisi III DPR RI ketika diwawancarai ANTV rabu petang (4 Juli 2007) perihal pandangannya mengenai pengibaran bendera RMS di Ambon dan bendera Bintang Kejora di Papua. Menurutnya riak separatis di wilayah Indonesia Timur itu tidak berdiri sendiri adanya. Tetapi ada kepentingan asing yang sangat besar dibalik isu separatis yang dimunculkan.
Ia juga menegaskan kalau kejadian pengibaran-pengibaran bendera itu sepenuhnya dikontrol oleh campur tangan intelejen asing yang sudah sejak lama berkeliaran di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia bagian timur. Soeripto juga memberika saran dan nasehat politik supaya pemerintah segera menuntaskan masalah ini dengan membongkar penggagas sebenarnya (master mind).
Kalau diruntut dari jejak sejarah negeri ini, sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru dengan muatan-muatan asing di balik gerakan-gerakan separatis di Indonesia. Ada banyak cermin sejarah untuk kita putar ulang, alangkah jelas dan nyatanya kepentingan asing di balik gerakan separatis tersebut. Dari mulai gerakan separatis di Sumatra, di Jawa, di Sulawesi, terlebih di Ambon dan di Papua, kiranya jelas sangat kentara.
Nenek moyang isu yang dilancarkan dari dulu hingga sekarang masih sama yaitu anak dari politik ”devide at impera”, politik memecah belah dan menaklukan/menguasai. Cuma yang berbeda adalah varian dan zamannya saja. Ibarat sebuah varian virus, varian politik pecah belah atau adu domba ini semakin ke sini semakin halus dan semakin tersamarkan. Sehingga kita sendiripun cukup sulit untuk mengatakan kalau itu sebuah ”virus”. Begitu kiranya jika dianalogikan antara varian virus dengan varian politik pecah belah atau adu domba.
Pada zaman kakek buyut kita Diponegoro, Belanda telah lebih dulu menanamkan politik ini. Tanpa itu mungkin Perang Belanda tidak ”Cuma 5 menit saja”(baca lima tahun) 1825-1830, bisa jadi lebih dari 5 tahun. Konon dalam sejarah Perang Jawa atau Perang Dipanagara ini merupakan perang yang banyak menguras amunisi bagi kolonilalis Belanda.
Tetapi karena begitu besarnya kepentingan Belanda atas tanah Jawa, maka segala cara untuk menaklukan Jawa dilakukan termasuk dengan adu domba. Pada akhirnya kerajaan terbesar di Jawa itu berhasil di pecahkan oleh Belanda menjadi dua bagian yang satu di Yogyakarta dan satunya lagi di Surakarta, melalui perjanjian Giyanti.
Dari kisah sejarah itu, sudah terlihat bagaimana imperialis Barat dengan mudahnya mempartisi (mengota-kotakan) musuh-musuhnya menjadi bagian-bagian kecil, sehingga mudah diatur dan dikuasai demi kepentingan besarnya di Tanah Jawa. Apa kepentingan asing pada waktu itu ? Tiada lain dan tiada bukan, ketergantungan Belanda akan hasil bumi atau kekayaan alam Tanah Jawa. Sejak zaman dulu saja tanah air kita ini begitu menjadi primadona negeri-negeri imperialis Barat. Negara Barat mana coba yang belum merasakan begitu nikmatnya mencicipi Indonesia?
Kalau kita urut kiranya semua negera Barat pernah menikmati manisnya Indonesia, walaupun itu banyak memberikan pahit bagi Indonesia sendiri. Mulai dari bangsa Portugis, Sepanyol, kemudian Belanda, kemudian Inggris. Kalau diperdetil kembali sebenarnya Belanda ketika melakukan ”perdagangan” di Nusantara ini, tidak seratus persen orang-orang Belanda. Sebesar apa sih negeri Belanda untuk bisa menaklukan Nusantara yang besar ini. Secara logika tidak mungkin.
Makanya orang Belanda ini cukup pintar, mereka melibatkan orang-orang dari negeri Eropa lainnya untuk dijadikan tentara bayaran. Tentara-tentara bayaran itu berasal hampir dari seluruh penjuru Eropa. Dan ketika mereka mulai mapan dengan berhasil didirikannya VOC, maka sediki-demi sedikit kekuatan tentara pun diperkuat hingga pada akhirnya terbentuklah Negara Hindia Belanda (Indonesia). Hasilnya pun cukup terlihat jelas kas negeri Belanda mengalami overload (baca :batig slot).
Kerajaan Belanda mampu membangun negerinya hingga selamat dari lautan yang setiap saat mengancamnya; mampu membayar hutang perang kepada Belgia dan bisa melancarkan misi keagamaannya di Indonesia dan di negeri jajahan lainnya.
Lagi-lagi sulit sekali memisahkan 3G (Gold, Glory dan Gosvel) dari muatan-muatan imperialis Barat ini. Mungkin sampai sekarang muatan-muatan 3G ini masih digunakan. Contoh jelas apa yang dicetuskan G. W. Bush tidak lama setelah WTC dihancurkan, dengan tanpa tedeng aling-aling ia menyatakan kalau perang terhadap ”terorisme” itu adalah kelanjutan dari Perang Salib. Terbukti jelas muatan 3G masih dianggap isu politik ampuh untuk menguasai dunia.
Bagaimana dengan keberlanjutannya setelah merdeka? Kemerdekaan kita raih bukan dengan hadiah pemberian dari penjajah tetapi dengan perjuangan tetesan darah dan air mata para pahlawan pendahulu kita. Mereka berjuang demi tegaknya merah putih di atas ibu pertiwi. Cita-cita mulia hidup di alam merdeka tercapai dengan dikumandangkannya kemerdekaan pada hari suci Jumat 17 Agustus 1945. Secara de facto Indonesia menjadi negara merdeka lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang.
Tetapi kacamata Belanda masih melihat Indonesia sebagai Hindia Belanda. Pada akhirnya mengundang banyak campur tangan internasional untuk Indonesia. Masalah Indonesia dimajukan ke meja-meja perundingan dengan Belanda oleh PBB dan negara juara PD II (AS). Meja-meja perundingan secara umum banyak merugikan Indonesia.
Dari mulai Perundingan Hoge Veluwe, Perundingan Pangkal Pinang, Perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville sampai berakhir di Konferensi Meja Bundar, posisi tawar Indonesia semakin diperlemah. Benang merah dari perundingan-perundingan itu adalah bagaimana Belanda bisa mengakuisisi kembali Indonesia sebagai bagian dari Hindia Belanda tanpa ”kontak fisik”. Memang usaha Belanda itu berhasil dengan terciptanya RIS tahun 1950, yang diawali oleh gerakan-gerakan politik dan militer Belanda dengan membentuk negara-negara boneka terlebih dulu.
Sekali lagi Indonesia bisa keluar dari masa-masa sulit tidak lepas dari faktor memanfaatkan situasi dan kondisi atau adanya kesempatan. Sudjatmoko menyebutnya ”Pilihan dan Peluang”. Kita bisa lepas dari Belanda, karena Belanda di Eropa diterkam Nazi Hitler, sebaliknya Belanda di Indonesia tak berdaya berhadapan dengan Facisme Jepang. Begitupun kita bisa merdeka lantaran Jepang di Bom Atom Sekutu. Kemudian Indonesia bisa memebentuk NKRI lantaran Belanda bisa dibodohi oleh RI, sehingga RIS lebur menjadi NKRI. Sejak dulu politik memang pandai-pandai memanfatkan kesempatan yang sekiranya menguntungkan.
Bersukurlah kita dengan segala kesempatan yang diberikan hingga kita bisa menikmati alam merdeka. Walaupun memang imperialisem-imperialisme gaya barus belum kita sadari. Tantangan ke depan negeri ini adalah menghadapi penjajahan-penjajahan gaya baru. Penjajahan gaya baru ini tidak lagi secara terang-terangan melakukan peperangan, tetapi bisa dengan sebuah perang ideologi, perang ekonomi, perang pengetahuan, dan perang kebudayaan.
Bagaimana peperangan itu dilancarakan secara tidak dirasakan oleh pihak yang diperangi. Dengan cara meruntuhkan dasar dari ketahanan negeri ini. Kita tahu negeri ini bisa merdeka lantaran persatuan dan kesatuan dari bangsa Indonesia. Bisa jadi persatuan dan kesatuan bangsa ini yang pertama diruntuhkan. Kita masih ingat persitiwa-persitiwa memilukan di Ambon dan Poso. Sepertinya sudah ada indikasi ke arah situ.
Dan tidak kurang santernya lagi isu kontemporer saat ini, dengan adanya peristiwa pengibaran bendera RMS di depan Kepala Negara RI. Sepertinya riak-riak kecil dibelakang muatan besar masih saja akan terus menggoyang keutuhan bangsa ini. (tulisan terdahulu)